Jujur, dari lubuk hati yang terdalam, aku seperempat hati datang ke momen itu. I’m swear, kalau ngga karena ngga enak sama sahabat sendiri dan kalau aja 'dia' ngelarang aku datang, aku pasti ngga akan kenal sama orang itu, pikirku.
Hari itu seharusnya aku pergi bersama dia yang saat itu berstatus sebagaipacarku.
Tapi, siapa yang bisa tahu apa yang akan terjadi di kemudian hari?
Secara singkat akan aku ceritakan kisah pertemuanku dengan masse (walaupun tetap akan jadi panjang😅). Cerita ini tidak dilebih-lebihkan, tapi memang dikurangi bagian-bagian yang terlalu privasi
Bisa dibilang, aku sudah kenal namanya sejak tanggal 16 Mei 2015, karena kami satu grup dalam sebuah kegiatan pelatihan relawan. Dari acara tersebut pula, pertama kalinya Allah pertemukan kami.
Kami hanya saling mengenal nama sampai suatu hari di bulan September*. Aku mendapat tugas liputan sebuah kegiatan mitigasi kebencanaan yang diselenggarakan oleh sebuah Lembaga Kemanusiaan-yang mana aku menjadi relawan di sana (aku memang berperan sebagai media, tepatnya relawan media dalam organisasi kerelawanan yang kuikuti).
Saat itulah aku bertemu dengannya, yang bertugas menjadi co-trainer di lokasi tugas liputanku (aku benar-benar lupa nama lokasinya, pokoknya sebuah SMA di bilangan Kemayoran).
Untuk pertama kalinya kami bertukar suara. Untuk pertama kalinya kami bercakap dan menjadi lebih mengenal satu sama lain, tak sekedar namanya saja. Ya, itu adalah kebetulan pertama Allah buat kami menjadi lebih mengenal satu sama lain. hehe
Momen pertama kali kenal dengan 'baik dan benar' bukan sekedar nama. Padahal, kenalnya setelah putus sama |
Sampai akhirnya kami bertemu kembali dalam sebuah kebetulan yang kedua: menuju perpustakaan UI.
Kenapa menuju? Karena saat itu aku memang sedang menuju ke perpustakaan UI, bersama seorang teman yang kupinta untuk menemani.
Ternyata, dia juga sedang menuju ke perpustakaan UI. Bertemulah kami dalam perjalanan menuju kesana (di stasiun UI tepatnya). Yang akhirnya membuat temanku memutuskan langsung pulang (karena sebenarnya aku memaksanya -temanku itu- untuk menemaniku😀).
Pada momen kebetulan kedua ini, tentunya kami menjadi lebih akrab. Entah kenapa aku merasa menemukan kecocokan dalam berdiskusi dengannya.
Dalam dua momen ketidak-sengajaan itulah, akhirnya kami benar-benar menjadi dekat. Tapi bukan dalam artian cinta ya. Kami berdua menjadi teman berdiskusi. Aku bisa menyebutnya partner kritis-ku. Sebab aku akhirnya menemukan manusia yang dapat kutumpahkan pemikiran-pemikiran kritisku.
Kadang-kadang kami berdiskusi atau berdebat via chat. Tidak sering. Kadang-kadang yang sangat jarang. Kalau ada topik yang sedang hangat saja. Itupun lebih seringnya aku mengabaikan chat-nya. haha
Mas bilang, hal inilah yang bikin mas penasaran sama aku. Kok bisa ada cewek sejutek dan se-flat itu. Harga diriku terluka! katanya... karena seringnya hanya ku read wkwkwk (padahal gebetan-gebetan dia selama ini cepat bertekuk lutut. Idiiih sorry lha yaw emang kita cewek apaan!)
Sampai di suatu hari yang masih kuingat tanggalnya... 4 Oktober 2015. Hari itu, untuk pertama kalinya kami bertemu tanpa suatu ketidaksengajaan. Kami bertemu dengan sengaja. Dia mengajakku melihat terbenamnya matahari di pantai Mutiara.
Sepulangnya, kami mampir di sebuah kedai kopi (lupa namanya). Di sinilah... dia melamarku.
Aku bengong-sebengong-bengong-nya saat mendengarnya meminta ku menjadi... apa?! istrinya???
Melihat kebingungan di raut wajahku, dia mengulangi pernyataannya. Bahwa dia yakin dan mantap, telah menemukan sosok penyempurna agamanya. Meski baru 1 bulan kami mengenal satu sama lain.
"Selesaikan saja dulu skripsimu, baru kemudian kita bicarakan lagi. Kalau memang serius, datangilah orangtua saya," ujarku sekedarnya.
Percaya ngga, kalau di kedai ini saya dilamar? |
Ternyata.... Dia benar-benar langsung datang menemui orangtuaku! dan setelah nikah aku jadi tahu kalau manusia ini memang sifatnya nekat!
Akhirnya... kami berkomitmen untuk menikah di tahun 2016. Namun sayangnya... jalannya tak mulus... yah aku sadar... baik aku dan dia memang telah bergeser niatnya. Kami mulanya sama-sama sedang berhijrah kala itu, dan kami sadar kami telah menyimpang...
Meskipun kami tidak pernah benar-benar pacaran (karena kalau dia memintaku jadi pacarnya pasti kutolak!), kami mengakui... kedekatan kami terlihat seperti orang pacaran. Sampai-sampai dicibir: Ta'aruf rasa pacaran. haha
Karenanya... kami bersyukur, Allah pisahkan kami. Tahun 2017 seharusnya menjadi tahun move-on bagi kita berdua yang gagal menikah.
di ujung tanduk usaha kami, dia bertanya,
"Kamu pilih siapa? Aku atau orangtuamu?"
Tentu saja aku ingin menjawab kamu! Tapi aku ingat sebuah nasehat, bahwa dalam pilihan sulit apapun itu pilihlah Allah. Maka, aku pun menjawab...
"Maaf, aku pilih orangtuaku".
"Baiklah... mari kita hentikan komitmen ini sampai di sini," ujarnya...
Betapa sedihnya aku saat itu... aku merasa kecewa dan marah pada orangtuaku. Alasan mereka hanya karena mas tidak mapan... tapi bagaimanapun juga aku adalah anak. Ridho Allah masih bergantung pada ridho orangtua...
Gagal menikah dengannya, orangtuaku lantas mengupayakan perjodohan-perjodohan untukku... yang memang sudah mereka rencanakan rupanya. Tapi entah kenapa tidak ada yang sreg di hatiku, meski aku sudah melakukan istikharah.
Sampai akhirnya kukatakan kepada mereka, aku belum mau menikah. Aku baru sadar, sepertinya aku sedang diuji kemantapan dalam berhijrah... Aku juga jadi sadar kalau sebenernya aku belum siap nikah. cuma pengen aja...
Dan yah... aku sedang menikmati masa-masa move on saat tiba-tiba... dia diperbolehkan datang untuk melamarku bersama kedua orang tuanya.
Akhirnya, di bulan September tahun 2017 kami menikah. Alhamdulillah, insyaa Allah proses yang dilalui benar. Bukan lagi taa'ruf rasa pacaran. hehe
Begitulah kisahku. Maaf kalau terkesan drama, aslinya jauh lebih drama😂 (kalah deh sinetron wkwkwk) tapi begitulah adanya~ (lanjutannya silahkan baca di sini)
*mungkin inilah yang dinamakan... pacar itu... menghalangi jodoh yang sebenarnya. Tapi mau gimanapun dihalangi, kalau Allah sudah tentukan jodoh kita siapa.. kita bisa apa? Tinggal cara kita ngambilnya aja... mau diulurkan dengan mesra oleh-Nya, atau dilempar dengan penuh amarah dan laknat-Nya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar