Sebelum masuk ke curcolanku, aku mau sharing dulu sebuah kisah... yang terilhami dari kasus-kasus semacam itu dan ironinya, banyak terjadi di seluruh belahan dunia ini.
PEMBUNUH
Oleh : Santy Diliana
Dia tidak tahu bahwa kecelakaan itu bukan kesalahannya. Yang dia tahu, semua orang menudingnya sebagai seorang pembunuh.
"Apa yang Ibu rasakan sekarang?"
Kay terdiam. Dia menatap ujung jari kakinya yang terbalut kaus kaki cokelat muda. Sementara itu, wanita berkacamata di hadapannya masih tersenyum, sabar menunggunya bercerita. Hening. Hanya suara detak jarum jam yang terdengar di telinga keduanya.
"Lega," lirih Kay memecah kesunyian.
"Lega?"
Kay mengangguk. "Lega, karena saya sudah mengirimnya ke surga. Lega, karena dia tidak akan pernah merasakan panasnya neraka. Lega ... karena dia tidak akan merasakan dibesarkan oleh ibu yang jahat dan tidak becus ... seperti saya."
Kedua bahu Kay mulai bergetar, matanya mulai terasa panas. Beberapa saat kemudian, pandangannya kabur oleh air mata yang tak lagi bisa dibendung. Kay akhirnya bisa menangis. Tangis pertamanya setelah kejadian mengerikan itu. Wanita berkacamata itu segera mengambil selembar tisu dan memberikannya kepada Kay. Satu tangannya yang lain terulur untuk menepuk lembut bahu Kay.
"Nggak apa-apa, Ibu boleh menangis sampai lega," ujarnya. "Tumpahkan semuanya."
Kay semakin terisak. Di satu sisi, dirinya merasa aman berada di tempat itu. Wanita berkacamata yang tadi sempat membuatnya takut, justru memperlakukannya dengan lembut. Tidak ada penghakiman atau cibiran seperti yang dia dengar selama ini.
"Maaf, kalau saya boleh tahu, apakah ibu mengharapkan kehamilan itu?" tanya wanita berkacamata, ketika dilihatnya Kay sudah lebih tenang.
"Saya dan suami memang tidak berencana menunda kehamilan." Kay menyeka matanya dengan tisu yang sudah lembab dan kusut. "Tapi ...."
Kay menunduk, tidak melanjutkan perkataannya.
"Tapi?" Wanita berkaca mata kembali bertanya dengan hati-hati.
"Tapi saya takut. Takut sakit saat melahirkan. Takut tidak mampu merawat bayi itu," jawab Kay.
"Suami ibu mengetahui ketakutan itu? Ibu pernah mengungkapkannya kepada suami?"
Kay mengangguk pelan.
"Lalu, apa respon suami?" Wanita berkacamata itu menyandarkan punggungnya di sandaran kursi.
"Kata suami, saya terlalu lebay. Wanita-wanita lain bahagia menyambut kehamilan, seharusnya saya juga begitu." Kay menirukan perkataan suaminya beberapa bulan lalu.
"Setelah itu?"
"Setelah itu, saya menelan sendiri ketakutan-ketakutan saya. Saya tidak lagi bercerita soal itu kepada suami." Kay menggaruk-garukkan ujung kuku jempol kanan ke jari-jemari tangan kirinya.
"Tidak ada orang lain lagi yang bisa ibu jadikan tempat berkeluh kesah? Mungkin ibu atau mertua?" Wanita berkacamata itu menatap Kay.
"Ibu saya sudah nggak ada. Ibu mertua tinggal di luar kota." Kay menoleh, lalu menatap ke arah jendela kaca. Dilihatnya seekor burung liar hinggap di sisi luar jendela.
"Kehamilan saya saat itu cukup berat. Saya terus mual dan muntah, bahkan sampai usia kandungan sembilan bulan. Tubuh saya rasanya begitu lemah. Saya nggak bisa ngapa-ngapain. Saya tersiksa." Kay menerawang. "Kata ibu-ibu tetangga, saya hanya manja."
Wanita berkacamata itu menghela napas. Dia memandang iba ke arah Kay. "Lalu, setelah melahirkan?"
"Setelah melahirkan?" Kay berpikir sejenak. "Rasanya seperti mimpi buruk."
"Boleh diceritakan?" Wanita berkacamata itu menyilangkan kedua kakinya.
"Setelah melahirkan dan pulang ke rumah, ASI saya seret. Bayi saya nangis terus. Saya sudah berusaha nyusuin, tapi payudara saya malah lecet. Puting saya sampai berdarah, lukanya bahkan menganga. Saya stress, saya frustrasi." Kay mengingat-ingat waktu awal-awal dirinya baru menjadi seorang ibu. "Setiap ada yang jenguk saya di rumah, mereka selalu bilang kalau ASI saya sedikit, payudara saya kempes, nggak ada isinya. Rasanya saya makin down."
Kay terdiam sejenak.
"Saya kelelahan luar biasa. Hampir setiap malam saya begadang sendirian. Suami tidur karena paginya harus kerja. Bayi saya baru tidur nyenyak di pagi dan siang hari. Sebenarnya saya ingin ikut tidur. Tapi kata mertua dan tetangga, saya nggak boleh ikutan tidur. Nanti darah putih saya naik," lanjut Kay.
"Lalu?" Wanita berkacamata itu mencoba memancing Kay agar bercerita lebih lanjut.
"Lalu, bisikan-bisikan itu mulai datang." Kay menggigit bibir bawahnya.
"Bisikan seperti apa?"
"Ada suara-suara dalam kepala saya. Katanya, lebih baik saya mengakhiri semuanya, lebih baik saya mengakhiri hidup saya, lebih baik, saya mengakhiri hidup bayi saya." Kay kembali terisak.
Wanita berkacamata itu memberi waktu kepada Kay untuk menangis.
"Pernah nggak, Ibu menceritakan soal bisikan-bisikantersebut ke orang lain?"
"Pernah. Ke tetangga yang bantu-bantu saya mencuci dan beres-beres rumah."
"Lalu responnya?"
"Katanya saya hanya kurang iman."
Lagi-lagi wanita berkacamata itu menghela napas panjang. Ada amarah yang tergambar samar di wajahnya. Bukan, amarah itu bukan ditujukan untuk Kay.
"Ibu bisa menceritakan apa yang terjadi hari itu?"
Kay terdiam. Adegan demi adegan kejadian hari naas itu kembali berputar di kepalanya.
"Hari itu saya bertengkar dengan suami. Perkara sepele. Saya ingin dia membantu saya menjaga si kecil, sementara saya tidur. Saya lelah. Saya butuh istirahat. Toh saat itu dia sedang libur." Kay meremas tisu di tangannya. "Tapi dia menolak. Katanya dia juga lelah setiap hari kerja, berangkat pagi, pulang malam. Dia juga ingin istirahat."
Kay berhenti sesaat. Dia butuh menghimpun segenap kekuatannya untuk menceritakan kejadian selanjutnya.
"Suami saya akhirnya tidur. Meninggalkan saya dan si kecil yang menangis terus. Saya lihat bayi saya berkeringat. Saya tahu dia kegerahan. Saya pikir, dia butuh berendam sebentar agar segar dan berhenti menangis."
"Lalu?"
"Lalu, saya membawanya ke kamar mandi. Saya ambil ember mandinya. Saya nyalakan keran. Perlahan, air mulai mengisi ember tersebut." Mata Kay kembali berkabut.
"Saat itu, bisikan-bisikan itu datang lagi. Saya disuruh meletakkan bayi saya di ember agar dia berhenti menangis."
"Kemudian?"
"Akhirnya saya menuruti bisikan itu. Saya letakkan bayi saya di sana. Kemudian saya duduk di lantai kamar mandi, memandangi air yang terus mengalir ke ember." Wajah cantik Kay kini berubah pucat.
"Saya sempat ingin mengambil bayi saya lagi, sebelum air di ember semakin banyak. Tapi bisikan di dalam kepala terus berkata bahwa saya harus membiarkan dia di situ. Itulah satu-satunya cara agar bayi saya tidak lagi menderita karena diasuh oleh ibu tidak becus seperti saya. Itu juga bentuk cinta saya kepada dia. Saya ingin dia bahagia di surga."
Wanita berkacamata itu mulai berkaca-kaca mendengar penuturan Kay. Dia teringat dengan putrinya sendiri di rumah. Naluri keibuannya sontak memberontak mendengar perlakuan Kay terhadap bayinya. Namun, di sisi lain, dia juga tahu, jiwa Kay sedang terganggu. Dia tidak sepenuhnya sadar atas apa yang telah dilakukan. Dalam kondisi normal, tidak mungkin seorang ibu tega menyakiti darah dagingnya sendiri.
"Setelah itu, apa yang Ibu lakukan?" Wanita berkacamata itu menjaga agar intonasinya terdengar seperti biasa. Dia tidak ingin membuat Kay merasa semakin tertekan.
"Ketika air di ember mulai penuh, saya tidak mendengar tangis bayi saya lagi. Bisikan itu benar. Dengan cara itu, bayi saya berhenti menangis," balas Kay. "Saya lalu berdiri dan beranjak menuju kamar. Kemudian saya tidur nyenyak. Nyenyak sekali."
"Lalu?"
"Saya terbangun ketika mendengar teriakan suami saya dari kamar mandi. Dari pintu kamar yang terbuka, saya melihat suami saya menggendong bayi kami. Saya senang, akhirnya suami saya memiliki inisiatif sendiri menggendong si kecil, tanpa saya minta. Setelah itu, saya kembali tidur."
Wanita berkacamata itu refleks membuang muka untuk menyembunyikan air matanya.
"Apakah saat itu Ibu tahu bahwa bayi ibu sudah meninggal?" tanyanya kemudian.
"Bayi saya nggak meninggal. Dia cuma sudah pindah ke surga," jawab Kay.
Wanita berkacamata itu mengangguk-angguk. Dia membuat catatan kecil di bukunya.
"Ada lagi yang ingin ibu ceritakan?" pancingnya.
Kay menggeleng.
"Baik, kalau begitu, sesi kita hari ini sampai di sini dulu." Wanita berkacamata itu mengambil perekam suara di meja.
Beberapa saat kemudian, dua orang berseragam masuk dan membawa Kay meninggalkan ruangan.
"Bu," ujar Kay sebelum meninggalkan ruangan.
"Iya?" Wanita berkacamata itu mendongak.
"Terima kasih karena sudah mendengarkan saya." Kay mengangkat sedikit kedua sudut bibirnya.
Wanita berkacamata yang berprofesi sebagai psikolog forensik itu mengangguk ramah.
Kay berjalan pelan, dengan ditemani oleh dua orang petugas. Kay tidak tahu bahwa kecelakaan itu bukan sepenuhnya kesalahannya. Yang dia tahu, orang-orang menyebutnya pembunuh. Dan, sebagai ganjarannya, dia terancam hukuman penjara selama beberapa tahun ke depan.
Ya, wanita malang itu tidak sadar bahwa mulut-mulut pedas orang-orang sekitar dan ketidakpedulian sang suami, adalah pembunuh yang sebenarnya.
-TAMAT-
#Fiksi
*Terinspirasi dari kasus-kasus ibu dengan PPD (Post Partum Depression) yang membunuh anaknya.
* Baby blues dan PPD, nyata adanya. Jangan sepelekan. Berikan dukungan kepada para Ibu agar tetap bisa berpikir jernih. Jika tidak bisa membantu, setidaknya berhentilah nyinyir.
___
now let's begin to my story~ ((sharing bin curcol))
Sama seperti kisahnya ibu Kay, kehamilanku yang kali ini terasa amat berat. I've had a super rough first trimester, the worst experience of morning sickness -sepanjang sejarah kehamilan yang pernah aku jalani. Mungkin lebih tepat kalau disebut allday sickness. Karena bisa seharian mual, setiap habis makan ada yang dimuntahin, setiap sholat mau pingsan (malah sering aku sholatnya duduk hiks). Lemes banget rasanya. Nggak bisa ngapa-ngapain ((masa-masa terburuk itu waktu usianya 9-12 minggu)). Untungnya nggak sampai hiperemesis gravidarum yang muntah setiap saat.
Walau sejujurnya... aku malah happy banget dengan drama mual-mual #alldaysickness itu! Karena yang sebelum-sebelumnya, aku kurang merasakan sickness bahkan tiba-tiba hilang rasa mual di usia 7 minggu... Makanya aku jadi selalu takut kalau gak mual. Walaupun ada yang mengalami hamil kebo (nggak ngerasa apa-apa), tapi normalnya kan mayoritas ibu hamil pasti mual. dan saat mual itu tandanya si janin sedang berkembang. Karenanya setiap kali aku mual aku sangat bahagia ((seriously)). My baby still alive, begitu pikirku lega...
Tapi, bagaimanapun aku senang, tubuhku tetap merasa kelelahan. Jujur aku juga sempat ngalamin depresi selama kehamilan. Karena nggak tau istilahnya apa, kusebut Maternity Blues aja ya. Ya sindrom depresi itu memang alamiah. Emosi negatif tersebut tercetus sebab rasa sakit yang teramat sangat melebihi batas tubuh untuk mentolerirnya. Seperti Post Partum Depression (PPD) tercetus akibat sakitnya melahirkan. Atau Baby Blues yang tercetus akibat sakit/lelahnya mengurus anak. It's okay to have that syndrom, yang penting kita bisa menyikapinya lalu mengatasinya sebelum berlarut-larut (sayangnya banyak yang tidak bisa dan akhirnya berlarut-larut lalu menjadi fatal).
Aku sendiri sadar saat aku merasakan gejalanya. Waktu itu usianya baru 7 minggu, tiba-tiba aku ngerasa beteeeee banget hamil. Kaya capek banget. Kesel tapi nggak bisa ngapa-ngapain. Nggak berdaya. Mood jadi ilang banget. Bosan yang kelewat-lewat bosan. I was feeling so blue... I was literally tired... extremely tired... I want to give up... I suddenly hate this pregnancy...
Detik itu aku langsung peka kalau tubuhku, jiwaku, sepertinya mulai lelah. Tapi serba salah. mau coba beraktivitas terlalu pusing. nggak di-suggest lemah tapi ya emang lagi bawaannya lemah banget. Ngerasa hopeless banget, cuma bisa tiduran tapi ya nggak bisa tidur juga. Masih tergolong normal sih, apalagi untuk perempuan-perempuan yang memiliki kehamilan dengan resiko tinggi sepertiku... Pada akhirnya kecemasan berujung depresi itu, wajar.
Kalau ku bandingkan dengan pengalaman-pengalaman keguguranku, aku juga nge-down banget tapi nggak pernah yang sampai jadi sindrom depresi begitu. Paling aku ngurung diri di kamar berhari-hari... terus yaudah berusaha ikhlas lagi, menjalani hari-hari dengan tabah lagi. Nggak pernah sampai benci sama kehamilan yang kujalani (walaupun harus keguguran). Ternyata setelah kuanalisa ala ala, tercetusnya depresi pada kehamilanku kali ini mungkin karena aku tidak menyalurkan emosiku dengan semestinya.
Maksudnya gimana? Seperti yang sudah kuceritakan di atas, aku justru bahagia ngalamin mual dan kawan kawan-nya itu. Sementara tubuhku mungkin udah nggak kuat... jadilah ada kontradiksi respon emosi yang berujung depresi (eh paham gak sih maksudku? wqwq) Kalau waktu aku keguguran kan, aku ngerasa sakit banget, dan aku luapkan semua rasa sakit itu #tsah Tapi, kelelahan yang kualami selama trimester 1 malah terus berusaha kutampik. It's okay, it's okay. I'm fine thank you padahal sebenarnya aku sama sekali nggak okay. Aku denial... karena aku takut nggak bersyukur, masa giliran udah dikabulin bisa lancar hamilnya terus ngeluh gara-gara gitu doang? Aku nggak mau ngakuin kalau aku tersiksa...
Barulah setelah aku menyadari hal itu -yang entah salah atau benar asumsiku- aku langsung cari wadah untuk menumpahkan semua uneg-uneg. Siapa lagi kalau bukan masse haha. Aku memberanikan diri untuk jujur semuanya. Kalau aku capek. Aku sakit. Aku lelah muntah terus. Aku bosen nggak bisa ngapa-ngapain. Aku kesel susah makan. Tapi aku juga bilang sebenernya aku nggak papa banget ngalamin itu semua... entah kenapa tubuhku yang seolah membenci kehamilan kali ini huhuhu intinya aku merasa lelah (banget) aja
Alhamdulillah, masse respect banget dan memaklumi ke-lebay-an istrinya. Dia menelan semua ketakutan istrinya haha. Mungkin karena dia tau kehamilan istrinya kali ini beresiko tinggi, jadi dia lebih responsible dan betul-betul menjaga. Jujur, waktu pertama kali aku hamil juga dia kurang care. Tapi sekarang masya Allah... suami siaga banget deh <3
Aku ngerasa plong setelah cerita. Awalnya aku juga takut sih buat cerita... takut dibilang lebay. Gengsi juga, soalnya aku kan tipikal yang cool(kas) gitu loh wqwqwq. Tapi masse cuma ketawa-ketawa tiap aku cerita (semacam dibecandain, uuu tayang cupcupcup -padahal aku ngomongnya udah sambil nangis-nangis).
Selama beberapa hari aku terus begitu, aku nggak denial lagi sama apa yang kurasakan. Sakit ya bilang sakit. Capek ya bilang capek. Nangis ya nggak ditahan-tahan. Tapi aku juga selalu berafirmasi positif, minta maaf sama si dedek karena ibunya selemah ini. Akhirnya berangsur-angsur menghilang sindrom-nya. Alhamdulillah nggak butuh waktu lama sih, sekitar 3 hari.
Cuma pas lagi parah episode drama sickness-nya aja pasti mewek lagi sama masse hahaha
Afirmasi positif yang kulakukan berupa doa...
Ya Allah, aku ingin menjalani masa-masa kehamilan dengan normal. Aku tidak tahu rasanya seperti apa... Bagaimana trimester 1, lalu trimester 2, hingga trimester 3. Rasanya mau melahirkan, rasanya melahirkan, rasanya menyusui (pasti nanti aku gemes banget deh sama anakku sendiri)
Insyaa Allah...
Selama ini aku cuma tau rasanya morning sickness yang hanya bertahan sampai minggu ketujuh, setelah itu menghilang... Aku tidak mau seperti itu lagi ya Allah. Izinkanlah aku bisa merasakan prosesnya dengan sempurna. Hingga menjadi ibu yang seutuhnya, dan keluarga kecil kami dapat menjadi utuh. Aku mohon pertolonganmu ya Allah. Mohon lancarkanlah semuanya... mohon beri aku kekuatan untuk bisa melaluinya... Aamiin
Oiya, selama terserang sindrom aku juga berusaha memperlakukan diriku se-sultan mungkin pokoknya as long as I am happy. Saat itu aku yang nggak bisa ngapa-ngapain selain makan, ya akhirnya berusaha menyenangkan hati dengan makan. Makan apapun yang bikin aku senang (walaupun bakal dimuntahin tapi gakpapa yang penting happy dulu). Dokter memang gak ngasih pantangan apapun, tapi sebenarnya justru aku yang memantang diri sendiri. Aku menahan hasrat untuk makan yang nggak sehat, especially junkfood. Waktu puncaknya aku ngalamin stress, yaudah, tak turuti kabeh. Alhamdulillah, manjur! Berasa banget happy-nya, mungkin si dedek seneng juga ya... sesekali mam micin gakada salahnya kok mommm wqwqwq
___
Anxiety is normal. There is no reason to live in shame, and hide your feelings from others... yang penting jangan over drama. Tetep berusaha santuy menghadapinya~
Mulai detik ini, jadilah orang yang berempati pada sesama. Paling tidak jangan nyinyir/julid deh. Banyak komentar yang menanggapi kasus-kasus semacam ibu Kay itu seperti: "Ah saya juga ngalamin tapi saya bisa tuh melaluinya"
Yaa... kan tiap orang beda-beda. Ada yang memang kuat banget, ada yang selow banget, ada yang tabah banget, ada juga yang rapuh banget, dan ada yang lebay banget. Mungkin kita dianugerahi kekuatan untuk bisa melalui 'ujian hidup' sendirian, tapi mungkin tidak bagi orang lain.
Saya sendiri bersyukur... selama ini saya punya orang-orang yang bisa saya percaya untuk ditumpahkan segala keluh kesah. Saya punya mereka yang tetap ada dalam titik-titik terendah hidup saya. Lantas, bagaimana dengan mereka yang sama sekali nggak punya satupun orang yang tepat untuk mengurai kesedihannya? Tidak ada yang mendukung bahkan justru mematahkan harapan-harapannya?
Karenanya, kalau ada yang kita kenal dan sedang ngalamin keterpurukan, rangkul. Tapi nggak usah dinasehatin macem-macem. Kebiasaan orang kita nih kalau yang punya masalah lagi cerita, langsung deh disela dengan segala rupa petuah. Orang yang lagi dalam masalah itu, untuk bisa cerita aja butuh keberanian mental yang luar biasa... jangan malah digurui. Itulah yang bikin kebanyakan orang sangat tertutup sama masalahnya. Habis kalau cerita malah diceramahin sih, belum lagi kalau yang diceritain malah mulutnya ember. Diceritain lagi kemana-kemana. Cape deh~
Akhirnya si empunya masalah memilih memendam saja segala kepedihannya dan mengatasinya sendirian. Kaalaaau, berhasil berdamai dengan masalahnya. Kalau nggak dan berakibat fatal, gimana?
Memang, yang paling baik adalah menyembunyikan masalah. Aku sendiri juga tipikal yang amat sangat tertutup. Aku lebih memilih menyimpan & menghadapi semuanya sendiri. Semacam punya krisis kepercayaan untuk berbagi 'beban hidup' dengan orang lain. Salah-salah, malah jadi konsumsi publik. Baru... kalau nanti aku sudah berhasil mengatasinya, aku sendiri yang akan cerita... seperti sharing bin curcol ini haha. Kalau mau jadi konsumsi publik pun udah gakpapa. Malah aku berharap supaya kisahku bisa diambil ibrah-nya.
Paling, kalau memang betul-betul urgensi aku nggak mampu mengatasi sendirian... somehow Allah selalu datangkan orang-orang yang entah kukenal atau tidak, menjadi pelampiasan segala unek-unekku + perantara solusi dari Allah. Satu-satunya manusia yang selalu menjadi 'tempat sampah'ku hanyalah masse. Tanpa bermaksud jumawa, aku betul-betul bersyukur dianugerahi suami yang dapat menjadi 'konselor' pribadiku. Masya Allah Tabarakallah...
Baiklah... aku rasa sudah terlalu panjang curcolannya. Terima kasih buat yang berkenan baca sampai sini~ fyi, Alhamdulillah... Saat ini, aku sedang menjalani minggu pertama trimester kedua kehamilanku ((My baby is 14 weeks old! Mohon doanya ya semua)). Segala rupa drama mual, pusing, lemah, lesu, lunglai, tak berdaya berangsur-angsur berlalu~ Alhamdulillah sekarang aku sudah lebih bertenaga, sudah berselera makan, sudah nggak terlalu picky eater, bisa makan lebih banyak ((meski kadang masih muntah)). Alhamdulillah mulai bisa beraktivitas normal lagi. Nggak tahan pengen jalan-jalan kaki tapi sama masse belum boleh, tunggu 4 bulan dulu aja insyaa Allah. Jadi paling senam hamil ringan aja di rumah.
P.S. Kehamilanku kali ini terjadi tanpa promil, bahkan aku belum memulai terapi pengobatan keguguran berulang...
Kok bisa? Kisahnya baca di sini ya~
Satu lagi, aku akan share sebuah artikel tentang depresi dalam perspektif Islam...
|
Ketika Perempuan (Paling) Shalihah Berkeluh Kesah "Ah, emak-emak depresi itu kurang iman aja!"
Kadang ada orang yang menganggap depresi atau stres tingkat tinggi itu karena kurang iman. Kurang ibadah. Kurang ngaji.
Saya tidak punya cukup ilmu untuk menilai. Tapi saya ingin berbagi
sesuatu yang saya dapat setelah merenungkan kisah seorang perempuan
penghulu surga.
Perempuan terbaik, paling shalihah di zamannya; Maryam binti Imran. Bunda dari Nabi Isa Alayhissalam.
Alquran mengabadikan ucapan Maryam saat hendak melahirkan Isa
alayhissalam. Sebuah kalimat yang menyiratkan beban mental begitu berat.
Sebuah kalimat yang menurut saya, terlalu tabu untuk diucapkan. Apalagi
oleh seorang perempuan yang menjadi pemimpin perempuan surga. Kalimat
yang mungkin kalau diucapkan di hadapan emak yang gak empati, responnya
persis sama dengan kalimat yang saya tulis di awal tadi.
Allah mengabadikan ucapan curhat Maryam itu dalam Alquran. Ucapan yang
memang hanya Maryam ucapkan dalam kesendirian, bukan di hadapan kaumnya
apalagi di medsos yak. Ucapan tersebut tertulis dalam surat Maryam ayat
22-23.
"Dan kisahkanlah di dalam Kitab (Al-Qur’an) tentang
Maryam, ketika ia menjauhkan diri dari keluarganya ke suatu tempat di
sebelah timur. Rasa sakit hendak melahirkan membawanya pada pohon kurma,
ia berkata: “Oh, alangkah baiknya aku mati sebelum ini, dan aku menjadi
sesuatu yang tak berarti dan dilupakan.”
Saya membayangkan
duka hati Maryam. Seorang gadis yang beribadah siang dan malam di Baitul
Maqdis. Semua orang hanya mengenalnya sebagai seorang perempuan
shalihah.
Lalu tiba-tiba ia hamil tanpa suami? Apa kata
dunia?? Maryam tahu tak akan ada yang percaya. Hanya Zakariya dan
istrinya, yang yakin akan kebenaran cerita Maryam.
Setegar-tegarnya Maryam, setinggi-tingginya iman Maryam, gadis itu tetap hancur hatinya mendengar omongan orang.
Itu Maryam, perempuan paling shalihah pada zamannya. Paling banyak
zikirnya. Paling bagus ngajinya. Paling tebal imannya. Jangan ditanya
ibadahnya.
Bisa-bisanya perempuan seshalihah itu akhirnya
berkeluh kesah? Bahkan sampai berucap mengharap kematian? Hanya karena
omongan orang?
Betapa begitu besarnya pengaruh kalimat tuduhan, nyinyiran, dan penghakiman terhadap batin seorang Maryam.
Maryam sang manusia pilihan masih bisa merasakan sakit hati, pilu
terhadap pandangan orang. Bahkan sampai berandai mati saja. Dilupakan
orang. Dianggap tak pernah ada. Daripada harus menghadapi dunia yang tak
berpihak padanya.
Di situlah saya tersadar. Maryam, perempuan shalihah yang imannya tak mungkin diragukan itu, hanya manusia biasa.
Manusia, diciptakan Allah dengan fitrah rasa. Punya emosi dalam jiwa.
Keberadaan iman tidak meniadakan gejolak emosi manusia. Melainkan
mengarahkannya untuk mengelola segala rasa dalam taat padaNya. Tapi
sekali lagi, bukan menghilangkan semua emosinya. Inilah bedanya manusia
dengan malaikat.
Butuh waktu bagi manusia untuk mengelola emosi
jiwa dan buncahan rasa. Ada proses yang perlu dilewati, bukan dalam
sekejap mata.
Ah, entah mengapa setelah membaca kisah Maryam, saya tak sampai hati menyimpulkan perempuan yang depresi itu kurang iman.
Justru bisa jadi episode depresi yang mereka alami, adalah cara Allah
menaikkan mereka ke derajat yang lebih tinggi. Atas jihad mereka
mengelola hati.
Siapa tahu, sakit hati yang mereka rasa, adalah jalan menuju surga. Sebab gugurnya dosa. Sebab pahala atas lelah jiwa.
Jangan-jangan saya yang ujiannya biasa-biasa saja, sedang jalan di
tempat belok kiri dikit masuk neraka, hiks naudzubillahimindzalik ....
Kembali ke kisah Maryam. Setelah curhatan duka tersebut, Allah pun
langsung meresponnya.Ternyata bukan dengan menghardik Maryam karena ia
mengeluh berandai mati saja. Allah tidak bilang, "Eh Maryam, gak boleh
ngomong gitu! Mana iman kamu?!"
Tidak.
Allah Maha tahu,
manusia yang ia ciptakan sedang berada di titik terendah dalam hidupnya.
Sedang kalut dengan emosi yang mengaduk jiwa.
Allah Maha tahu, yang dibutuhkan Maryam saat itu bukan omelan. Bukan nasihat. Tapi dukungan. Ketenangan.
Apa yang Allah lakukan?
Surat Maryam ayat selanjutnya, 24-26.
"Kemudian Jibril menyerunya dari tempat yang rendah, “Janganlah kamu
bersedih, sesungguhnya Tuhanmu telah menjadikan anak sungai di bawahmu.
Dan goyang-goyangkanlah pelepah pohon kurma itu ke arahmu niscaya akan
gugur buah-buah kurma yang telah masak itu kepadamu. Maka makanlah dan
minumlah, dan senangkanlah hatimu. Jika kamu melihat seseorang, maka
katakanlah, “Sesungguhnya aku telah bernazar kepada Yang Maha Pengasih
untuk berpuasa, maka aku takkan berbicara kepada seseorang pun pada hari
ini.”
"Allah mengutus 'konselor' berupa malaikat Jibril untuk
memandu Maryam. Menghalau kesedihan dan menuntunnya fokus pada kekuatan
yang masih ia miliki. Perintah untuk menggoyang pelepah pohon kurma
untuk menjatuhkan kurma matang adalah cara Allah membuat Maryam percaya
dirinya masih punya daya.
Selanjutnya Maryam diminta makan dan minum, serta menyenangkan hatinya. Menurut saya, ini solusi yang sangat manusiawi!
Maryam yang sedang tenggelam dalam rasa sakit karena melahirkan, emosi
sedih membayangkan tudingan kaumnya, diberikan kesempatan untuk makan
dan minum. Setelah terselesaikan kebutuhan pokoknya tersebut, barulah
Allah menyuruh Maryam menyenangkan hatinya.
Selama Maryam menata
hati, Allah beri ia kesempatan untuk menenangkan diri, memenangkan
pertempuran batinnya dengan berpuasa. Maryam diperintahkan untuk
berpuasa dan tidak berbicara. Tidak membantah apapun komentar negatif
kaumnya.
Masya Allah.
Membaca kisah ini sungguh membuat
saya merasakan kasih sayang Allah. Bahwa Dia tak pernah meninggalkan
hambaNya. Tidak pernah membebani di luar batas kemampuan hamba Nya.
Bahwa Allah sangat memanusiakan manusia.
Bahwa ungkapan
kesedihan, merasa tak ada harapan, bukanlah pertanda hilang iman.
Melainkan pertanda bahwa yang mengucapkannya hanyalah manusia. Ciptaan
Allah yang dibekali fitrah rasa. Makhluk yang membutuhkan perlindungan
Robb-nya.
Maka jika ada emak yang curhat kelelahan, sedih, sampai
punya keinginan menyakiti diri sendiri atau anaknya, jangan buru-buru
menghakiminya kurang iman.
Ajaklah ia duduk nyaman, fokus pada
kekuatan yang masih dimilikinya. Bawakan makan, minum, dan senangkan
dulu hatinya. Baru bantu ia menata emosinya.
Jika sang emak
curhatnya di medsos, enggak usah nimbrung komentar nyinyir. Cukup
diinbox, diwapri, diajak ngobrol personal aja. Kalau benar-benar peduli
dan sayang padanya.
Sebab kita tak pernah tahu, Allah mungkin
sedang menaruh perhatian padanya. Sedang mengamati siapa yang akan ikut
dapat pahala dalam skenario ujian seorang hamba. Siapa yang ikut
menolong dengan tulus dan siapa yang hanya ikut menjatuhkan sesama.
Wallahu a'lam bishshawab. Semoga Allah kuatkan semua ibu yang sedang
berada di titik terendah dalam hidupnya. Makan, minum, dan bersenang
hatilah, Bunda. Sebab Allah sedang membukakan jalan menuju surga.
InsyaAllah.
Penulis,
Yunda Fitrian,
Sahabat Ibu Berdaya
|