Sabtu, 12 Januari 2019

Secuplik Kisah (jadi relawan) di Palu: Momen Tergreget

Ini adalah momen terrrgreget-nya mobile medis selama di Palu. Operasi kecil: hecting/penjahitan luka.

Taaapi yang bikin greget adalaaaaah mbaknya ngga teriak sama sekali waktu dijahit, seriously!! selow banget. Padahal ini nggak pake anestesi. Kita mah yang liat ngilu-ngilu sedappp, dia mah kalemmm. hahaha

___


Namanya Agustina, usianya baru 20. Nahas, ia terpleset dan kepalanya terantuk tangga saat lari menyelamatkan diri. Hari ketika gempa dahsyat itu datang (29/09/18), ia sedang berada di lantai 2 rumahnya.

Hari itu Agustina datang sebagai pasien terakhir. Ia mengeluhkan darah yang terus merembes dari kepalanya. Saat dilihat, dr. Anti pun terkejut. Ini mah mesti dijahit! Sebenarnya sudah dijahit, tapi jahitannya tidak sempurna dan lukanya terbuka.

"Sar, kita nggak ada lidokain ya?" tanya dr. Anti padaku. Fyi, lidokain adalah nama obat anestesi/bius.

"Nggak ada dok," jawabku.

dr. Anti lalu meminta Agustina ke Rumah Sakit. Tapi dia nggak mau. Katanya jauh. Iyasih, ini lokasinya di perbatasan Palu-Donggala. Kalau harus ke Rumah Sakit UNDATA yang terletak di tengah kota memang terlalu jauh. Fyi, saat itu satu-satunya Rumah Sakit yang beroperasi hanya RS UNDATA, karena yang lain hancur akibat gempa (meski bangunan RS UNDATA juga roboh setengah).

Agustina bercerita, di hari kejadian, pasca gempa dan tsunami berlalu dari Palu, warga yang selamat berjibaku melarikan orang-orang yang selamat tapi 'terluka' ke RS UNDATA.

Di sana suasananya begitu mencekam, gelap gulita tiada listrik, darah dimana-mana dan bau anyirnya menusuk ke segala penjuru. Orang-orang berteriak kesakitan, menangis, termasuk diri Agustina yang kala itu kepalanya dijahit.

Makanya, Agustina trauma dan nggak mau ke rumah sakit. "Di sini aja sama dokter. Waktu itu juga nggak dibius kok," ujarnya.

Hmm.. Wajar sih ya... dalam situasi darurat seperti itu, nggak mungkin dokternya nggak ngerasa panik. Pasien 'korban bencana' yang ditangani pastilah sangat banyak. Tak sebanding dengan jumlah tenaga medis yang ada saat itu. Jahitnya mesti buru-buru, yang penting dijahit! Eh, ada jarum hecting dan benangnya aja udah syukur ... pikirku begitu mendengar cerita Agustina.

"Bener nih dijahit di sini aja? Tapi nggak dibius loh," tanya dr. Anti kesekian kalinya. Raut mukanya tak tega. Aku sudah meringis membayangkan... e dodo eee ketusuk pentul aja sakitnya bukan main!

"Iya nggak apa, sama dokter aja," jawab Agustina. Kesekian kalinya juga berusaha meyakinkan dr. Anti supaya mau menjahit kepalanya.

Akhirnya proses hecting pun dilakukan. Dan seperti yang kuceritakan di awal, Agustina sama sekali nggak mengaduh. Stay cool banget buset dahh (Apakah dia punya ilmu hitam? wqwq). Sementara dr. Anti berkali-kali minta maaf tiap menusukkan jarum hecting.


Sebelum proses hecting dilakukan, menggunting rambut yang berada pada luka

dr. Anti dah kaya Mpok Hindun minta maaf terus😅


"Kalau sakit jangan ditahan, teriak boleh kok. Nangis juga boleh," tutur Aca yang memegangi kepala Agustina. Kulihat raut wajah Aca pucat pasi, loh kok malah suster-nya yang mau pingsan! 🤣

"Nggak sakit kok. Waktu di rumah sakit lebih sakit," ujar Agustina sambil tersenyum. Masih bisa senyam-senyum lohhh gaesss

Kita yang ngeliatin yang mau pingsan dia mah stay cool yoo mamen😁


Waktu berlalu... Agustina tetap membisu hingga luka-nya selesai di jelujur~

Yang lucunya, giliran dikasih obat dia langsung takut! Takut sama obat sampai mau kabur dan akhirnya dipegangin supaya mau minum obat! Wahahahahaha Gus, gus, kok lebih takut obat daripada jarum😂
___


Sepanjang perjalanan pulang kami tak henti-henti mentertawakan hal ini. Bahkan setiap hari jadi lawakan receh kita wqwqwq. Nggak habis pikir...

"Satu-satunya hecting yang gaboleh pakai anestesi cuma jahit perineum*," kata dr. Anti.

"Kenapa tuh dok?"

"Supaya si ibu kapok melahirkan. Supaya punya anaknya dikasih jarak, ngga beruntun!"

Hahahaha begitu toh rupanya. 

Sungguh hebaaat kamu Agustina, mengaduh pun tidak😆


Perineum= lubang tempat keluar bayi -persalinan normal- biasanya memang perineum akan robek saat melahirkan dan harus dijahit.


Kamis, 03 Januari 2019

Nyaris Kebakaran (Ternyata Tas Siaga Bencana itu Penting!)

Menjelang siang di hari Senin (9/7/18) yang cerah...

"Kebakaran... kebakaran!"

Aku tengah berbaring santai ketika riuh teriakan warga mengagetkanku. Kebakaran? 

Sontak aku terbangun dan langsung berlari ke beranda (tanpa perlu berpikir panjang memastikan kebenarannya), saat kulihat asap yang membumbung tinggi sekali. 

Warnanya abu-abu nyaris hitam, tebal bergulung ke angkasa, kontras sekali dengan warna langit siang itu... yang sedang cerah-cerahnya. Aku bergidik ngeri. Kepanikan mulai menjalar ke seluruh tubuhku. Jaraknya sangat dekat! mungkin sekitar 50 meter dari rumah mertuaku...

Aku langsung kembali ke kamar. Kusambar celana training dan jaket yang tergantung. Kuganti baju secepat kilat-saat itu aku hanya mengenakan daster. Kudengar Ibu mertua berteriak dari bawah, memanggilku untuk segera turun dan meninggalkan rumah.

Pikiranku seketika blank. Aku hanya menyomot tasku, botol air minum, dan Al Qur'an (ponsel langsung kuamankan dalam saku jaket). Tak lupa kucabut steker yang  masih tercolok di stop kontak. Hijab kupakai sekenanya saja dan langsung bergegas turun. Ah iya! kotak cincin (kawin) mas masih dilaci!

Didera rasa panik aku kembali ke kamar dan mengambilnya dalam sekejap, kemudian aku kembali turun dengan tergesa.

Ibu mertuaku sudah menunggu di luar pagar, bersama ketiga cucunya yang menangis ketakutan. Hari itu masih nuansa liburan sekolah. Anak kakak-kakak iparku pun berlibur di rumah neneknya. Tak lama kemudian mereka pun dijemput oleh sepupu yang rumahnya tak jauh dari rumah mertuaku.

"Surat-surat berharga Sarah sama Erry dimana?" tanya ibu.

"Jadi satu di tas ini Bu," jawabku sambil menunjuk tas hitam besar yang tergeletak di sebelah kakinya. Tas yang memuat seluruh dokumen penting milik para penghuni rumah mertuaku, termasuk punyaku dan masse.

Kulihat sekeliling... gang Kota Bambu Utara VI telah dipadati warga yang berhamburan keluar rumah. Susul menyusul motor yang lewat dengan orang-orang yang menggotong-gotong barang elektroniknya.

Aku dan ibu masih terdiam di luar rumah. Menunggu situasi terburuk yang tak kami harapkan... Jangan sampai api-nya sampai kesini... Astaghfirullah... batinku cemas. Simpang siur kudengar si jago merah sudah merembet, menghanguskan 5 rumah.

Kulihat beberapa mulai berjibaku memadamkan api dengan air seadanya. Mereka berbaris memanjang, secara estafet memindahkan ember berisi air

Dengan gemetar aku (menyempat-nyempatkan) mengabadikan momen chaos ini -no pict hoax, ceunah generasi milenial... kukirim pada kerabat, memohon doa agar qodar-Nya baik (agar api tak sampai ke rumah mertuaku). Aku juga mengabarkan masse dan memintanya untuk segera pulang.



Tak berapa kemudian...

Kepanikan kami memuncak ketika tiang listrik mulai terbakar. Astaghfirullah... sungguh menyeramkan melihat kobaran api sebegitu hebatnya😭 Beberapa warga yang rumahnya masih agak jauh namun sudah standby di depan rumah pun berlari menyelamatkan diri... termasuk aku dan ibu. Pasrah... kami berlari sambil bersama-sama menjinjing tas hitam yang ternyata sangat berat!

Adzan Dzuhur berkumandang... beradu dengan teriakan-teriakan kepanikan warga. Tak ada yang menggubris panggilan-Nya karena semua terlalu fokus menyelamatkan diri dan harta-benda sekenanya...

Keluar dari gang kami dijemput oleh adik ayah -mertua- (para keponakan dijemput oleh anaknya tadi). Kami langsung menuju ke rumahnya. Sembari berjalan aku memandangi sekujur penampilanku dari atas sampai ke bawah. Tiba-tiba saja aku merenung, ya Allah bahkan aku tak sempat sekedar berganti baju yang lebih 'bagus'. Memang tak ada gunanya bermewah-mewah... dalam situasi seperti ini, tak ada yang lebih utama ketimbang menyelamatkan diri.

Sesampainya di sana, rupanya listrik telah dipadamkan serentak khusus daerah Kota Bambu Utara, Tanah Abang (ini hanya asumsiku, tapi sepertinya benar).

Tiba-tiba ponselku menyala, sebuah panggilan masuk dari masse. Tapi saat itu kondisi bateraiku sudah melemah.

"Halo, Assalamu'alaikum..." kuangkat teleponnya sembari mencari power bank beserta kabelnya dalam tasku, kemudian memasangnya. powerbank + kabel data/charger memang tak pernah keluar dari tasku.

"Waalaikum'salam, kamu dimana?"

"Aku di rumah Kia, sama ibu, Mita, Dzihni, Zulfan," jawabku sambil melirik para keponakanku yang kini tengah asyik bermain. Tampaknya mereka sudah lupa tentang kepanikan beberapa saat lalu.

"Kondisi aman?"

"Rumah ngga tau. Disini mati listrik juga... katanya udah 7 rumah kena," jawabku.

"Oke... stay safe sayang. Aku otw pulang, Assalamu'alaikum," ujarnya. Aku hanya menjawab salamnya kemudian telepon pun dimatikan.

Tak lama kemudian ayah mertua tiba. Ayah & ibu mertuaku memutuskan kembali ke rumah, untuk bersiaga. Rumah masih aman tetapi rumah yang terbakar sudah delapan. Ya Allah... 

Tiba-tiba aku teringat lokasi-lokasi kebakaran yang dulu kudatangi (sebagai relawan) dan semuanya selalu ludes terbakar merata sampai satu komplek besar... Aku jadi punya bayangan buruk.... sangat buruk.

Tapi.. kemudian aku bersyukur akan suatu hal, dan baru menyadari betapa krusialnya hal tersebut dalam keadaan seperti ini!

Apakah itu? ialah..... Tas Siaga Bencana!

Aku mengetahuinya dari pelatihan yang pernah kuikuti, yakni pelatihan menjadi seorang Urban Survival (which is... salah seorang trainer-nya kini menjadi suamiku🙈 #hahahacurcol).

Setelah menikah, masse memang terus mewanti-wanti agar aku selalu siap sedia Survival Kit, istilahnya. Untuk berjaga-jaga kalau sewaktu-waktu terjadi situasi darurat. Seperti sekarang ini... tapi aku selalu bodo amat, ribet ah! Ternyata... setelah mengalami situasi darurat itu... memang harus sedia Tas Siaga Bencana sebelum datang bencana! Blank seketika otak😥

Untungnya aku baru saja pulang travelling bersama masse. Jadi tasku masih terisi barang-barang yang diperlukan dalam kondisi darurat. Makanya aku langsung nyomot ini tas! Inilah yang membuatku bersyukur... 

Setidaknya dalam tasku sudah tersedia kebutuhan-kebutuhan untuk bertahan hidup kalau-kalau aku harus mengungsi... (jiwa relawan, bawaannya siap siaga bencana ehe...). Kalau kata masse, yang paling utama itu: air (karena manusia tidak bisa bertahan hidup tanpa minum. Kalau lapar masih bisa ditahan), daya (powerbank + charger), makanan ringan (lapar memang bisa ditahan tapi kemampuan manusia hidup tanpa makan hanya 7 hari), obat-obatan pribadi/First Aid kit, plastik, senter, dan sedia payung sebelum hujan.

seriously... pada 'praktek'-nya tuh panik... ngga akan kepikiran mau bawa apa selain nyelametin diri sendiri! Coba kalau tadi tasku belum siap dengan barang-barang itu, mungkin saja malah ngga terbawa. Apalagi ternyata ponselku lowbatt, mungkin saja aku ngga sempat bawa powerbank, bagaimana memberi kabar kalau ponselnya mati sementara listrik ngga ada? Kesiapsiagaan diri juga penting... #tsahhh

Satu setengah jam kemudian akhirnya api berhasil dipadamkan. Untungnya armada damkar datang dengan cepat karena lokasinya dekat. Bersyukur rumah mertuaku tidak kena... Alhamdulillah.

Aku pun kembali ke rumah, bersamaan dengan masse yang juga sampai di rumah. Kami berdua kemudian mengecek situasi & kondisi TKP. Meringis aku melihat barisan rumah yang kini tinggal abu... totalnya sembilan rumah terbakar. Damkar datang di saat si jago merah sedang melumat rumah ke sembilan.

Tak lama kemudian, petugas PLN juga datang untuk membereskan tiang listrik yang hangus setengahnya. Listrik masih dipadamkan sampai kurang lebih 2 jam setelah api padam.

Usai mendokumentasi TKP kami pun pulang. Aku langsung sholat Dzuhur (belum sempat kutunaikan saking paniknya... astaghfirullah). Rasanya sholat Dzuhur kali itu adalah salah satu sholat terkhusyuk sepanjang aku hidup😅 Kita sering lupa bahwa kita ini hanya 'makhluk' kecil yang terlalu lemah. Ada Allah yang Maha Besar, namun kesombongan kita seringkali melebihi sang Maha Kuasa itu sendiri...

Sekian dan terima kasih. Tulisan ini dirangkai dengan sebenar-benarnya. Maaf kalau 'pembuktian'nya tidak banyak. Karena ya... bisa dibayangkan bagaimana paniknya saat itu.

Setelah situasi aman, saat berjalan kembali pulang ke rumah. Inilah tentenganku. Lihatlah aku cuma pakai sendal jepit. Nggak kepikiran buat pakai sepatu mahal, yang paling simpel aja... Ohya, aku ambil Al-Quran karena kitab suci kan nggak boleh terbakar ya, jadi harus diselamatkan yang bisa diselamatkan (bukan maksudnya mau sok alim gitu ya)


Everyday Survival Kit (karena aku diajarin masse untuk selalu sedia Survival Kit kapanpun karena bencana -apapun itu- datangnya sewaktu-waktu tanpa ada yang mampu memprediksinya)
1. Uang cash secukupnya, dompet + kartu-kartu penting
2. Powerbank + charger cadangan (khusus untuk dibawa-bawa, selalu standby di dalam tas. Kalau di rumah jangan pakai yang ini)
3. P3K alakadarnya. Biasanya aku bawa tablet Paracetamol, plester luka, dan minyak kayu putih
4. Air minum
5. Permen/makanan ringan (aku malah biasanya sedia gula stik, karena punya hipoglikemi & hipotensi. Buat jaga-jaga takut ngedrop di jalan)
6. Vaseline Repair Jelly. Kata masse sih ini penting, sebagai bahan bakar api (tapi emang selalu ada di dalam travel make up pouch-ku sih) 
7. Korek api -tapi aku sendiri nggak pernah bawa
8. Pisau lipat -ini juga nggak pernah bawa, kuganti gunting kuku aja haha
9. Senter -udah sekalian sama powerbank yang ada senternya wqwq
10. Tisu kering & basah
11. Pembalut -bisa sebagai pengganti perban juga loh
12. Payung/jas hujan

Nah, kalau isi Tas Siaga Bencana bisa dilihat dari gambar di bawah ini.




Sebetulnya, biasanya setiap rumah sudah menyiapkan Tas siaga Bencana loh. Tapi, isinya baru dokumen-dokumen berharga saja. Kebiasaan keluargaku maupun masse sama, menyatukan seluruh surat berharga milik semua penghuni rumah pada satu wadah/tas yang aman terkendali. Termasuk uang & perhiasan juga. Tapi kalau uang, stay di dalam ATM sih haha (seperlunya saja yang disimpan dalam bentuk nyata wqwq) dan perhiasan juga sebaiknya manfaatkan fasilitas Safety Box di bank. Kalau punya brankas, semua barang berharga bisa disimpan dalam brankas. Karena brankas tahan api, jadi Insyaa Allah aman.

Seriously, dalam keadaan panik tuh nggak bisa mikir apapun! Dengan adanya Tas Siaga Bencana, siapapun yang berada di rumah bisa tinggal 'nyomot' aja kalau ada emergency. Kalau nggak sempet untuk ngambil tas-nya, ya tinggalin aja! Paling utama tetap keselamatan nyawa ya. Karenanya, Tas Siaga Bencana sebaiknya disimpan di lokasi yang mudah dijangkau.